musyawarah dalam islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Saat
ini masih banyak orang salah persepsi tentang musyawarah, sebenarnya hakikat
musyawarah adalah cara mangembil keputusan dengan baik. Tidak dapat dipungkiri
bahwa manusia hidup tidak terhindar dari masalah dan mereka dituntut untuk
menyelesaikannya. Pada sisi lain, adanya kesulitan dalam mengambil keputusan
merupakan hal yang wajar bahkan bisa menimbulkan kesukaran-kesukaran terhadap
keputusan itu sendiri yang menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Dalam
musyawarah perbedaan pendapat itu wajar, tapi bagaimana menyampaikan perbedaan
pendapat tersebut agar orang tidak tersinggung. Dewasa ini musyawarah berkaitan
dengan kejadian-kejadian anarkis seperti siding DPR, kenapa demikian? Karena
mereka tidak paham tujuan dari musyawarah tersebut. Tujuan dengan diadakannya
musyawarah yaitu supaya terciptanya tujuan yang sama.
Islam
sudah mengajarkan bagaimana cara bermusyawarah yang baik dan benar, dalam
Al-Qur’an bahwa konsep musyawarah tersebut merupakan tradisi umat muslim pada
masa nabi yang harus dilestarikan dalam tatana kehidupan sekaligus merupakan
perintah Allah yang disampaikan kepada nabi sebagai salah satu landasan
syari’ah yang harus tetap ditegakkan. Terutama dalam kehidupan modern saat ini.
Etika
musyawarah sering dilanggar oleh anggota musyawarah seperti, meremehkan,
memotong pembicaraan dan menertawakan usul orang lain. Dalam islam, ada
etika-etika untuk melakukan musyawarah.
Dalam
makalah ini akan dibahas bagaimana seharusnya etika bermusyawarah dalam islam
sesuai dengan dalil dari ayat Al-Qur’an dan Hadist.
1.2
Rumusan Masalah
a) Apa pengertian dari musyawarah?
b) Bagaimana musyawarah dalam komunikasi?
c)
1.3
Tujuan Penulisan
a) Untuk mengetahui bagaimana musyawarah dalam islam.
b) Untuk mengetahui musyawarah dalam demokrasi.
c) Untuk mengetahui bagaimana aturan atau etika dalam
bermusyawarah.
d) Bisa mendiskusikan perilaku-perilaku bermusyawarah
dalam surah Al-Imran ayat 159.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Musyawarah
Kata musyawarah berasal dari kata (شور) syawara yang pada awal mulanya bermakna
“Mengeluarkan madu dari sarang lebah” makna ini kemudian berkembang, sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain
(termasuk pendapat). Orang yang bermusyawarah bagaikan orang yang minum madu
(Quraish Shihab : 2001).
Dari makna dasarnya
diketahui bahwa lingkran musyawarah yang terdiri dari peserta dan pendapat yang
akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan. Peserta musyawarah
bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid dalam bekerja sama dan dan
hanya makan dari hal-hal yang baik saja (disimbolkan dengan kembang), serta
tidak melakukan gangguan, apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan
ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau
pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan
hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan
kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karena kata
tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal-hal yang baik saja.

Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah
peristiwa menyedihkan pada perang uhud. Ketika itu menjelang pertempuran, nabi
mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap
menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, nabi
cenderung bertahan di kota Madinah dan tidak keluar menghadapi musuh yang
keluar dari Mekah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum muda mendesak agar kaum
muslim yang berada di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW keluar menghadapi musuh.
Pendapat mereka itu mendapat dukungan dari mayoritas,
sehingga Nabi menyetujuinya tetapi peperangan berakhir dengan gugurnya para
sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang. Konteks turunnya
ayat ini serta kondidi psikologis yang dialami Nabi dan sahabat-sahabatnya amat
perlu di garis bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Qur’an tentang
musyawarah.
Ayat ini seakan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah
harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang
mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan dapat
menjadi tanggung jawab bersama dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun
diakui kebenaran pendapatnya sekalipun.
Dari ayat tersebut dapat diambil 4 sikap ideal ketika dan
setelah melakukan musyawarah.
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan
musywarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap
keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini
harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan dengan baik kalau
peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang
dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada-Nya. Itulah sebabnya
yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi.
4. Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada
Allah dan bertawakal.
Mungkin kita sering mendengar mengenai syura jika
berbicara tentang musyawarah. Syura berasal dari kata Syawwara-yusyawwiru yang
berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk
lain dari kata kerja ini adalah asyara (member isyarat), tasyawara (berunding
saling tukar pendapat), syawir (minta pendapat)musyawarah dan mustasyir (minta
pendapat orang lain). Syura sebenarnya adalah suatu forum dimana setiap orang
mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembuk, tukar pikiran,
membentuk pendapat, dan memecahkan suatu persoalan bersama.
Musyawarah menurut bahasa berarti “berunding” atau
“berembuk”, sedangkan pengertian musyawarah menurut istilah perundingan bersama
antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik.
Muasyawarah adalah pengambilan keputusan secara bersama
yang telah disepakati dalam memecahkan suatu masalah. Cara pengambilan keputusan
bersama dibuat jika keputusan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak atau
masyarakat luas. Terdapat 2 cara yang dapat ditempuh dalam pengambilan
keputusan secara bersama, yaitu dengan cara musyawarah mufakat dan dengan cara
pengambilan suara terbanyak atau lebih dikenal dengan istilah VOTING.
Voting dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai
berikut :
·
Musyawarah sudah
dilakukan tetapi tidak menghasilkan keputusan yang bulat.
·
Musyawarah sudah
tidak memungkinkan lagi karena timbul perbedaan pendapat yang tidak mungkin
lagi dipertemukan.
·
Waktu yang telah
mendesak sehingga harus cepat membuat keputusan bersama.
Musyawarah sangat bermanfaat untuk
menyatukan pendapat yang berbeda dan keputusan tersebut menjadi suatu hasil
keputusan yang adil dan merupakan tanggung jawab bersama.
II.
Musyawarah dalam
Demokrasi.
Negara Indonesia dalam sistem
politik menerapkan sistem demokrasi Pancasila. Demokrasi pancasila tidak hanya
meliputi demokrasi bidang pemerintahan atau bidang politik (dalam arti sempit), tetapi juga
telah berkembang menjadi sistem
demokrasi dalam arti luas, yaitu meliputi berbagai sistem dalam masyarakat,
seperti sitem politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Musyawarah sudah dikenal sejak zaman
dahulu, musyawarah merupakan inti dari demokrasi pancasila yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.
Setiap orang mempunyai hak untuk
menyampaikan pendapat sebagaimana dimuat dalam undang-undang, secara khusus
untuk mengaturnya, yaitu UU No. 9 tahun 1998.
Musyawarah dalam demokrasi
mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.:
1)
Musyawarah
bersumber pada paham sila ke-4.
2)
Setiap putusan
yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan dan tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.
3)
Setiap peserta
musyawarah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengeluarkan pendapat.
4)
Setiap
keputusan, baik sebagai hasil mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak harus
dapat diterima dan dilaksanakan.
5)
Apabila cara
musyawarah untuk mufakat tidak dapat dicapai dan telah diupayakan berkali-kali
maka dapat digunakan cara lain yaitu,
dengan cara Voting.
Dengan demikian musyawarah dalam
demokrasi yaitu memberikan suatu kewenangan mengeluarkan pendapat sebagaimana
telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 28 (E) ayat 3 yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.”
III.
Musyawarah
dalam Islam
Islam memandang musyawarah sebagai suatu hal yang
amat penting bagi kehidupan manusia, bukan hanya dalam kehidupam berbangsa dan
bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini
terbukti dalam Al-qur’an dan Hadist yang memerintahkan atau menganjurkan umat
pemeluknya untuk bermusyawarah dalam memecahkan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Musyawarah itu dipandang
penting karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan
sekelompok orang atau umat, dan sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau
mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem musyawarah itu
harus dilakukan, baik Al-qur’an maupun Hadist tidak memberikan penjelasannya
secara tegas.
a)
Ayat-ayat
Al-qur’an tentang musyawarah
·
Surat Al-Baqarah ayat 233, yang artinya “apabila kedua (suami istri) ingin
menyapihkan anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan
permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Q.S
Al-baqarah : 233)
·
Surat At-Thalaq ayat 6, yang artinya “tempatkanlah mereka para istri dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah
ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan bermusyawrahlah diantara kamu segala sesuatu dengan
baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak
itu untuknya.” (Q.S At-Thalaq : 6)
·
Surat Al-Syura ayat 38, yang artinya ”dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S Al-Syura : 38)
b)
Manfaat
Musyawarah
·
Melalui musyawarah dapat diketahui kadar
akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemashatan umum.
·
Kemampuan akal manusia itu
bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan diantara mereka ada yang
mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang
lain para pembesar sekalipun.
·
Semua pendapat dalam musyawarah diuji
kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya
hati untuk mensukseskan suatu upaya
dan kesepakatan hati.
IV.
Etika dalam
bermusyawarah.
1.
Sikap lemah
lembut, seseorang yang melakukan musyawarah apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar
serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Seandainya engkau bersikap kasar
dan berhati keras niscaya
mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
2.
Musyawarah
dipimpin oleh orang yang tidak memihak kepada siapapun.
3.
Musyawarah
diawali dengan basmalah, hendaknya masing-masing berdo’a :
“Allahumma
alhimna mara sida umurina wa adidna min syururi anfusina wa min syayiati
a
maalina”.
Artinya : “Ya Allah berikanlah
kami petunjuk (ilham) apa yang menjadi urusan kami dan kami berlindung dari kejahatan diri kami dan
keburukan perbuatan orang lain.”
4.
Pimpinan
musyawarah meminta usul-usul mulai dari sebelah kanan ke sebelah kiri.
Mengajukan usul-usul yang terbaik
dan setelah usul-usul disampaikan, anggaplah usul orang lain yang terbaik.
5.
Apabila usul
kita diterima segeralah beristighfar, sebab mungkin saja usul itu mendatangkan mudarat bagi orang lain, sebaliknya jika usul
kita ditolak maka ucapkan Alhamdulillah.
6.
Tidak memotong
pembicaraan (interupsi), tunggulah orang lain selesai bicara dan tidak boleh menguatkan pendapat orang lain.
7.
Keputusan
bukanlah pada suara yan terbanyak. Kebenaran hanya pada Allh dan Rasul-Nya. Hendaknya keputusan sesuai dengan
laporan atau data yang ada.
8.
Apabila
keputusan telah ditetapkan, maka ini adalah suatu amanah dari Allah SWT dan
siap melaksanakannya (sami’na wa
athana). Menerima keputusan musyawarah sebagai hadiah bukan sebagai beban.
9.
Apabila dari
hasil musyawarah terjadi hal yang tidak diinginkan maka janganlah berandai- andai. Hal ini akan menimbulkan peluang syetan
untuk memecah hati kita.
10. Perbedaan pendapat dalam musyawarah adalah rahmat
tetapi beda pendapat dalam musyawarah
adalah laknat.
V.
Contoh
musyawarah pada zaman Nabi Muhammad SAW
Pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam
perang badar, banyak orang-orang musyirikin yang menjadi tawanan perang. Untuk
menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar
Shiddik dan Umar bin Khattab.
Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan
perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu
sebaiknya dikembalikan ke keluarganya dengan membayar tebusan. Umar bin Khattab
juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan pendapatnya, bahwa tawanan perang
itu dibunuh saja dan yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini
dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci
Islam.
Sebab bagaimanapun islam perlu memperlihatkan kekuatannya
dimata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah sangat
kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya, Allah SWT menurunkan ayat
Al-Qur’an (Surat Al-Imran ayat 159) yang menegaskan agar Rasulullah berbuat
lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga
mereka akan lari dari ajaran islam.
Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas
pendapat Abu Bakar Shiddik. Disisi lain memberikan peringatan kepada Umar bin
Khattab. Apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima hendaknya
bertawakallah kepada Allah SWT. Sebab, Allah sangat mencintai orang-orang yang
bertawakal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itu pun dilepaskan
sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada
waktu menghdapi perang badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah
musyirkin Quraisy yang kembali dari Syam. Ide tersebut disepakatioleh para
sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah,
sekiranya engkau mengajak kami menyebrang melewati lautan ini tentu kami akan
lakukan dan sekali-kali kami tidak akan bersikap seperti kaum Musa yang berkata
kepada Nabinya, “pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedangkan kami akan
tetap tinggal disini.”
BAB III
PERSEPSI ORANG TERHADAP MUSYAWARAH PADA ZAMAN
SEKARANG
Musyawarah merupakan peundingan untuk menyelesaikan
masalah. Manurut analisis kami bahwa musyawarah adalah suatu kegiatan untuk
mencari kesepakatan bersama dalam permasalahan. Tetapi kebanyakan orang dalam
musyawarah tidak lagi mencari kesepakatan bersama melainkan kepeningan
golongan.
Musyawarah sudah dikenal sejak zaman dahulu sebagai
warisan yang sangat berharga Karena musyawarah merupakan inti dari demokrasi pancasila
yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.
Dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
kepentingan bersama, musyawarah tentu lebih cocok daripada tindakan lainnya.
Dalam musyawarah, semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak
dibedakan berdasarkan atau jabatan apapun. Setiap orang dalam musyawarah harus
saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain untuk mencapai
kesepakatan.
Sebagai contoh, Menteri Agama H. Suryadharma Ali
memandang musyawarah sangtlah penting dilaksanakan, seperti menentukan awal
ramadhan dan satu syawal, walaupun banyak perbedaan pendapat, tapi mereka
mempunyai satu tujuan dan mereka juga menunjukkan keseriusan dan komitmen
bersama untuk menyelesaikan perbedaan dan mewujudkan persatuan perbedaan umat.
Dengan demikian bahwa persepsi kebanyakan orang terhadap
musyawarah adalah suatu proses melakukan pembahasan masalah tertentu yang
dihadapi oleh sekelompok orang untuk mencari solusi sehingga mencapai keputusan
yang dapat berpengaruh bagi kepentingan bersama.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Musyawarah
adalah pengambilan keputusan bersama yang telah disepakati dalam memecahkan
suatu masalah. Cara pengambilan keputusan bersama dibuat jika keputusan tersebut
menyangkut kepentingan orang banyak atau masyarakat luas. Terdapat dua cara
yang dapat ditempuh dalam pengambilan keputusan bersama, yaitu dengan cara
musyawarah mufakat dan dengan pengambilan suara terbanyak (Voting).
b.
Musyawarah dalam
demokrasi mengandung beberapa prinsip yang bersumber dari paham sila ke-4.
Setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan dan tidak
boleh bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Setiap peserta musyawarah
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengeluarkan pendapat. Setiap
keputusan, baik hasil mufakat maupun berdasarkan voting harus diterima dan
dilaksanakan.
c.
Musyawarah itu
dipandang penting, karena merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan
sekelompok orang atau umat disamping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun
atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem
permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadist tidak
memberikan penjelasan secara tegas
d.
Dari Surat
Al-Imran ayat 159 tersebut dapat diambil 4 sikap ideal ketika dan setelah
melakukan musyawarah, yaitu :
·
Sikap lemah
lembut. Seseorang yang melakukan musywarah, apalagi pemimpin harus menghindari
tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
·
Memberi maaf dan
membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak
akan berjalan dengan baik kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi
dendam.
·
Memiliki
hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan
permohonan ampunan kepada-Nya. Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah
adalah permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi.
·
Setelah selesai
semuanya harus diserahkan kepada Allah dan bertawakal.
2.
Saran
Musyawarah memang sudah menjadi
kebiasaan kita dalam menyelesaikan masalah tetapi kita sering kali lupa dengan
tujuan musyawarah itu sendiri, tujuan musyawarah yaitu untuk mencari
kesepakatan bersama dalam sebuah masalah. Pernahkah kita melihat dan mendengar
musyawarah yang diwarnai dengan kericuhan?
Contohnya yaitu
seperti sidang Paripurna DPR, mereka hanya mementingkan kepentingan golongan
mereka, bukan mementingkan rakyat Indonesia. Jadi bagi kita yang berlatar
belakang Islam gunakanlah musyawarah sebagaimana musyawarah yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW.
Musyawarah mempunyai aturan bukan
sekehendak kita dalam melaksanakannya, pahami dan taati aturan atau etika
bermusyawarah sehingga tidak ada lagi keributan bermusyawarah. Sekarang ini
cobalah kita mampu menerima pendapat orang lain, dan sabar apabila pendapat
kita tidak diterima orang, dan yang lebih penting janganlah memotong
pembicaraan orang lain ketika mengeluarkan pendapatnya.
Dengan demikian apabila kita mampu
melaksanakan seperti zaman Rasulullah SAW maka tidak akan ada lagi keributan,
justru malah sebaliknya dalam musyawarah tersebut akan tercipta suasana damai
dan bukan menimbulkan permusuhan, sehingga musyawarah mampu mempererat tali
silaturahmi.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar